Tuesday, November 10, 2015

MATERI BAHAN AJAR DASAR AKUNTANSI


https://wsoepeno.blogspot.com/b/post-preview?token=ZCBc9VABAAA.yiEVFI6f9iaTBjwQKZ_NokcsjEXpCcqGheLGutEvIpf1FBethZcYwr-a_43n09lH5AFoY8qHrWLHQFuMvwE1Cw.ehjuH-A1XbUTHbDXQklL6w&postId=8460785006726601753&type=POST

Dasar Akuntansi - 1. Pemahaman Dasar Akuntansi Klik Di sini
Atau Klik Gambar
http://wsoepeno.blogspot.co.id/p/pertemuan-ke-2.html

Dasar Akuntansi - 2. Transaksi Persamaan Akuntansi & Perkiraan Pers. Jasa  Klik Di sini
Atau Klik Gambar
http://wsoepeno.blogspot.co.id/p/blog-page_11.html

Dasar Akuntansi - 3. Jurnal Dan Posting ke Buku Besar Perusahaan Jasa Klik Di sini
Atau Klik Gambar





Dasar Akuntansi - 3. Jurnal Dan Buku Besar Perusahaan Jasa Klik Di sini

Dasar Akuntansi - 4. Jurnal Dan Buku Besar Perusahaan Jasa Klik Di sini
Atau Klik Gambar





http://wsoepeno.blogspot.co.id/p/pertemuan-ke-5-neraca-lajur-worksheet.html


Dasar Akuntansi - 5. Neraca Lajur  Klik Di sini

Atau Klik Gambar
http://wsoepeno.blogspot.co.id/p/blog-page_13.html

Dasar Akuntansi - 6. Laporan Keuangan Klik Di sini 
Atau Klik Gambar
http://wsoepeno.blogspot.co.id/p/pertemuan-ke-7.html

Dasar Akuntansi - 7. Jurnal Penutup (Closing Entries) dan Jurnal Balik (Reversing Entries)  Klik Di sini
Atau Klik Gambar





http://wsoepeno.blogspot.co.id/p/pertemuan-8.html


Dasar Akuntansi - 8. Akuntansi Perusahaan Dagang
Klik Di sini
Atau Klik Gambar




http://wsoepeno.blogspot.co.id/p/pertemuan-ke-9.html


Dasar Akuntansi - 9. Jurnal Pembelian dan Penjualan
Klik Di sini
Atau Klik Gambar


http://wsoepeno.blogspot.co.id/p/pertemuan-ke.html



Dasar Akuntansi - 10. Buku Pembantu dan AJP Perusahaan Dagang  Klik Di sini
Atau Klik Gambar




http://wsoepeno.blogspot.co.id/p/pertemuan-ke-11.html


Dasar Akuntansi - 11. Neraca Lajur Perusahaan Dagang
Klik Di sini 
Atau Klik Gambar




http://wsoepeno.blogspot.co.id/p/pertemuan-ke-12.html


Dasar Akuntansi - 12. Laporan Keuangan dan Jurnal Penutup
Klik Disini
Atau Klik Gambar


http://wsoepeno.blogspot.co.id/p/pertemuan-ke-13-akuntansi-perusahaan.html





Dasar Akuntansi - 13. Akuntansi Perusahaan Manufaktur Klik Di sini
Atau Klik Gambar


http://wsoepeno.blogspot.co.id/p/pertemuan-14-jurnal-penyesuaian-neraca.html




Dasar Akuntansi - 14. Jurnal Penyesuaian, Neraca Lajur, dan Jurnal Penutup Klik Di sini 
Atau Klik Gambar







SERTIFIKAT ARTIKEL GELLERY DAN VIDEO

SERTIFIKAT PESERTA SEMINAR

 

SERTIFIKAT SEBAGAI PEMBICARA


SERTIFIKAT PELATIHAN PROFESIONAL






KUMPULAN ARTIKEL YANG SAYA TULIS



BERANI MERAIH SUKSES

Selama Anda terus melakukan apa yang selama ini Anda lakukan, Anda akan mendapatkan apa yang selama ini Anda dapatkan. Jika Anda tidak suka dengan apa yang Anda dapatkan, Anda perlu mengubah apa yang Anda lakukan selama ini. (Zig Ziglar).

Para pembaca yang budiman, dalam tulisan ini saya akan membahas mengenai pentingnya setiap pribadi yang ingin sukses, memperkuat pondasi perubahan terlebih dahulu, sebelum perubahan itu sendiri Anda lakukan. Anda bayangkan sebuah bangunan rumah atau gedung tinggi yang megah, bahkan candi-candi peninggalan sejarah seperti Prambanan, Borobudur, apa yang terjadi jika pondasi bangunan tidak kuat ? bangunan itu tentunya tidak akan dapat bertahan lama, dan ketika digoyang oleh gempa dengan kekuatan kecil saja, mampu membuat retak, rusak bahkan merontokkan bagian bahkan seluruh bangunan tersebut. Begitu juga dalam diri manusia, jika pondasi perubahan tidak kuat, sebentar saja bisa galau, merasa putus asa, belum melakukan tetapi bayangan kegagalan selalu menghantui. Hal seperti ini tentu sangat tidak baik bagi upaya peningkatan kualitas hidup seseorang di tengah perubahan zaman yang tidak bisa dibendung oleh siapapun.
Klik di sini untuk membaca artikel ini secara lengkap.



MEMAHAMI HYPNOSIS DAN HYPNOTHERAPY

Anda tentu pernah menyaksikan aksi seorang Hipnotis di televisi yang sangat piawai dalam menaklukan beberapa audien yang dijadikan subyek Hipnosis dengan beberapa intruksi, diakhiri kata “Tidur”,  dan seketika subyek itupun tubuhnya lunglai dan memasuki alam bawah sadar seperti tidur tetapi ia masih bisa mendengar apa yang diucapakan si penghypnotis. Kemudian sang penghypnotis memberikan sugesti tertentu kepada subyek, dan subyekpun melakukannya. Umumnya sugesti yang diberikan adalah yang efeknya menghibur, sehingga penonton merasa lucu dengan tingkah si subyek. Hipnosis seperti ini disebut dengan Stage Hypnosis, dilakukan untuk hiburan dan membuktikan bawah pikiran bawah sadar memiliki kemampuan untuk melakukan apapun sesuai dengan sugesti yang diberikan dan sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran bawah sadarnya (sub conscious mind).  
Klik di sini untuk membaca artikel ini secara lengkap


GALLERY FOTO

FOTO BERSAMA REKAN DOSEN SEBELUM TEST TKDA DAN TOEP
DI KAMPUS BINUS JAKARTA

FOTO BERSAMA INSTRUKTUR DAN REKAN DOSEN
DALAM PELATIHAN PERSIAPAN TEST TOEP
FOTO BERSAMA MAHASISWA MAHASISWI KOMPUTER AKUNTANSI
FOTO BERSAMA SETELAH PRESENTASI AKUNTANSI
FOTO BERSAMA MAHASISWA MAHASISWI KOMPUTER AKUNTANSI

FOTO BERSAMA MAHASISWA MAHASISWI KOMPUTER AKUNTANSI
FOTO BERSAMA ANDRE WONGSO PADA SEBUAH SEMINAR MOTIVASI
FOTO BERSAMA PESERTA SEMINAR MARKETING DENGAN JAMES GWEE
FOTO BERSAMA MARIO TEGUH ACARA GOLDEN WAYS
FOTO BERSAMA DEDY SUSANTO PAKAR PEMULIHAN JIWA
FOTO BERSAMA PAKAR MIND TECHNOLOGY ARIESANDI SETIONO
FOTO BERSAMA  SAAT MENGIKUTI PELATIHAN HYPNOSIS
FOTO BERSAMA YAN NURINDRA PAKAR HYPNOSIS DAN HYNOTHERAPY
VIDEO HYPNOSIS


VIDEO KETIKA SAYA MELAKUKAN HYPNOTHERAPY MOTIVASI  
KEPADA SEORANG MAHASISWA YANG RINDU BERTEMU IBUNDANYA

Sunday, November 8, 2015

JURNAL ANALISIS DAMPAK RISIKO KREDIT BERMASALAH TERHADAP ROA PADA BPR




ANALISIS DAMPAK RISIKO KREDIT BERMASALAH TERHADAP RETURN ON ASSET PADA BANK  PERKREDITAN RAKYAT

Wangsit  Supeno
Akademi Manajemen Informatika dan Komputer Bina Sarana Informatika (AMIK BSI)
Jl. RS Fatmawati No. 24, Pondok Labu, Jakarta Selatan
Wangsit.wss@bsi.ac.id

ABSTRACT

Credit risk is the largest productive assets in the balance sheet amount Rural Bank. Under the Indonesian Banking Statistics in 2011 through 2014, showed, Ratio of Non-Performing Loans by the National Rural Bank has passed Average standard healthy conditions of 5%. These conditions can have a negative impact on the ability of Rural Banks in obtaining profit reflected Return on Assets ratio. The purpose of this study was to determine the performance of Lending in the National Rural Bank with non performing loans ratio indicator, and the impact of risk on the performance of non performing loans with indicators Earnings Ratio Return on Assets. In this study, using the library, and trend analysis of the financial performance data in the National Rural Bank, sourced from Indonesian Banking Statistics published by Bank Indonesia and Otoritas Jasa Keuangan. Based on the trend analysis of the average ratio of non performing loans since 2011 through 2014, has exceeded the healthy standard of 5%, which means that the performance of lending by the National Rural Bank is still quite unwell. Disbursement in the last two years has decreased. This is because the level of market competition is so tight with similar financial institutions, so that the credit market niche Rural Bank shrinking. The ratio of non-performing loans on the basis of the National Rural Bank which on average is still above 5%, and this provides less impact on the growth of acquisition Return on Assets over the past four years.

Keywords : Non Performing Loans, Return On Assets

I.      PENDAHULUAN

1.1.   Latar Belakang Masalah

Bank Perkreditan Rakyat sebagai lembaga keuangan yang memiliki fungsi intermediasi dengan aktivitas menghimpun dana dari masyarakat, berupa Tabungan dan Deposito Berjangka, dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Aktivitas ini sesuai dengan Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Dalam struktur Neraca Bank Perkreditan Rakyat, Kredit merupakan aktiva yang terbesar jumlahnya dan tergolong dalam kelompok aktiva produktif yang berisiko. Setiap saat debitur bisa saja melakukan tindakan tercela (moral hazard) dan menimbulkan kredit bermasalah, sehingga Bank Perkreditan Rakyat harus memiliki kebijakan kredit, sesuai dengan peraturan regulator dan internal manajemen dengan pelaksanaan yang konsisten. Pelaksanaan secara efektif dari setiap kebijakan pemberian kredit  memiliki tujuan agar kredit yang diberikan sesuai dengan prinsip kehati-hatian sehingga memberikan dampak positif terhadap kualitas kredit. Risiko kredit bermasalah dapat ditekan sehingga Kualitas Kredit Bank Perkreditan Rakyat selalu dalam kondisi sehat. Jika risiko kredit bermasalah dapat ditekan salah satunya akan memberikan dampak positif terhadap kemampuan Bank Perkreditan Rakyat dalam memperoleh profit dengan indikator Return On Assets (ROA) yang terus mengalami pertumbuhan positif dari tahun ke tahun. 

Berdasarkan fakta di lapangan, operasional Bank Perkreditan Rakyat dalam menyalurkan Kredit kepada masyarakat, memiliki kendala yang berakibat risiko terjadinya kredit bermasalah tidak dapat terhindari, sehingga risiko tersebut membebani biaya operasional bank karena ada kewajiban menyediakan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang harus dibentuk sesuai regulasi yang berlaku. Kondisi ini tentunya menimbulkan masalah bagi pertumbuhan profitabilitas dengan indikator Return on Assets (ROA) jika jumlah kredit bermasalah (Non Perorming) yang tergolong Diragukan dan Macet jumlahnya besar, sebab prosentasi penyisihan yang wajib dibentuk oleh bank juga besar. Perkembangan tingkat kualitas kredit bermasalah yang di dalamnya meliputi kredit dengan kolektibilitas Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet, diukur dengan menggunakan indikator Rasio Non Performing Loans (NPL), dengan batasan toleransi sehat sebesar 5%.  

Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia yang disajikan oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan pada tahun 2014, menunjukkan bahwa posisi Rasio Non Performing Loans (NPL) Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional selama empat tahun terakhir Rata-Rata telah melewati ambang toleransi sehat 5%. Kondisi ini ternyata memiliki dampak terhadap kemampuan Bank Perkreditan Rakyat dalam memperoleh profit yang tercermin dari Rasio Return On Assets  (ROA) pada periode yang sama tetapi pertumbuhannya kurang menggembirakan. 

Hal inilah yang kemudian menjadi dasar pembahasan penelitian, dalam rangka untuk menemukan permasalahan dalam kinerja pemberian kredit selama empat tahun terakhir, sehingga berdampak pada kemampuan memperoleh profit Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional yang pertumbuhannya dinilai bisa lebih dioptimalkan lagi jika dilakukan perbaikan.

1.2. Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dari penulisan penelitian ini adalah untuk melakukan analisa dampak kredit bermasalah yang terdapat di Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional terhadap kemampuannya dalam memperoleh laba berdasarkan asset yang dimiliki, dengan bersumber pada Data Statitik Perbankan Indonesia yang dipublikasikan Bank Indonesia selama tahun 2011 sampai dengan 2014.

Tujuan penelitian sesuai perumusan masalah sebagai berikut : 

1.   Untuk mengetahui Kinerja Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional dengan indikator Rasio Non Performing Loans (NPL), dan melakukan evaluasi terhadap permasalahan yang terkait dengan rasio tersebut.
2.   Untuk mengetahui dampak risiko Non Performing Loans (NPL) terhadap kinerja Laba dengan indikator Rasio Return  On Assets (ROA) Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional.

1.3.   Perumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1.   Bagaimana kinerja pemberian kredit dengan indikator Rasio Non Performing Loans (NPL) pada Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2014 ?

2.  Bagaimana risiko Non Performing Loans (NPL) berdampak pada pertumbuhan kinerja Laba dengan indikator Rasio Return On Assets (ROA) pada Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional sejak tahun 2011 sampai dengan 2014 ?

II.  LANDASAN TEORI

2.1.  Risiko Kredit 

Menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, “Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalulintas pembayaran”. Kegiatan utama Bank Perkreditan Rakyat adalah menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka dan tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, kemudian menyalurkannya dalam bentuk pemberian kredit. (Triandaru, 2006 : 86).

Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga” (Triandaru, 2006 : 114) .  

Pengertian Risiko kredit adalah risiko yang terjadi akibat dari gagalnya penerima kredit (debitur) dalam memenuhi perjanjian kredit untuk melunasi pembayaran angsuran pokok dan pembayaran bunga kredit pada bank (Ali, 2004:70).  
  
Setiap kegiatan penempatan dana yang dilakukan bank, maka di dalamnya melekat risiko yang arus ditanggung. Pengertian Risiko Kredit adalah risiko yang timbul apabila peminjam tidak dapat mengembalikan dana yang dipinjam dan bunga yang harus dibayarnya”. (Riyadi, 2006:52).  Cara mengatasinya, unsur risiko di masukkan ke dalam harga, penetapan limit kredit dan menjaga kesehatan kredit dengan pendekatan CAMEL (Capital, Kualitas Aktiva Produktif, Manajemen, Earning dan Liquidity).


2.2.  Penilaian Kinerja Pemberian Kredit 

Dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/30/DPBR tertanggal 12 Desember 2006 yang telah dirubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/29/DKBU tertanggal 31 Juli 2013 tentang Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Publikasi Bank Perkreditan Rakyat, disebutkan bahwa Bank Perkreditan Rakyat dalam menyampaikan Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Publikasi diwajibkan menyajikan informasi rasio keuangan paling kurang di antaranya mencakup kinerja kredit bermasalah atau Non Performing Loans (NPL) dan Return On Assets (ROA).

Menurut Surat Edaran Bank Indonesia No.14/26/DKBU Tanggal 19 September 2012  Perihal Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan Bagi Bank Perkreditan Rakyat menyatakan bahwa Kredit merupakan sumber pendapatan utama bagi Bank Perkreditan Rakyat guna kesinambungan usahanya, sehingga Bank Perkreditan Rakyat harus senantiasa menjaga kualitas kreditnya. Untuk itu, dalam pemberian kredit, Bank Perkreditan Rakyat harus menerapkan prinsip kehati-hatian dan asas-asas perkreditan yang sehat agar kualitas kredit yang diberikan senantiasa lancar. Apabila Bank Perkreditan Rakyat tidak mampu menjaga kualitas kreditnya dengan baik maka hal tersebut akan mempengaruhi kinerja Bank Perkreditan Rakyat khususnya kinerja keuangan yang dapat mengakibatkan kemampuan Bank Perkreditan Rakyat untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah penyimpan menjadi terganggu. Oleh karena itu agar penerapan prinsip kehati-hatian dan asas-asas perkreditan yang sehat tersebut dilaksanakan secara konsisten maka BPR harus memiliki Pedoman Kebijakan Perkreditan Bank Perkreditan Rakyat  (PKPB).

Dalam melaksanakan kegiatan pemberian kredit, Bank Perkreditan Rakyat dihadapkan pada risiko kredit yang bermasalah (Non Performing Loans). Munculnya kredit bermasalah disebabkan oleh kesalahan bank dan atau nasabah, lebih disebabkan karena faktor-faktor internal bank yang meliputi kelemahan manajemen, sumber daya manusia dan bank terlalu berani memberikan kredit pada sektor yang berisiko. 

Menyadari pentingnya kesehatan suatu Bank Perkreditan Rakyat bagi pembentukan kepercayaan dalam dunia perbankan serta untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian (prudential banking principle), maka Bank Indonesia merasa perlu untuk menerapkan aturan tentang kesehatan bank. Ketentuan kesehatan untuk Bank Perkreditan Rakyat diatur berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 30/12/KEP/DIR tertanggal 30 April 1997 tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat. Ketentuan ini berlaku dalam hal menilai kesehatan dalam pengelolaan kredit Bank Perkreditan Rakyat, atau yang disebut dengan faktor Kualitas Aktiva Produktif (KAP). 

Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/26/PBI/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat, Aktiva Produktif adalah penyediaan dana BPR dalam Rupiah untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk Kredit, Sertifikat Bank Indonesia dan Penempatan Dana Antar Bank. Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Kredit ditetapkan dalam empat golongan, yaitu Lancar, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet. Penilaian terhadap Aktiva Produktif tersebut dilakukan berdasarkan ketepatan membayar dan/atau kemampuan membayar kewajiban oleh Debitur.

Bank Perkreditan Rakyat sebagan besar menerapkan sistem pembayaran angsuran kredit secara bulanan. Sesuai Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/26/PBI/2011, kualitas kredit dapat digolongkan dalam kualitas Lancar, jika kredit memenuhi ketentuan yaitu tidak memiliki tunggakan angsuran baik pokok dan atau bunga. Kredit digolongkan sebagai kredit bermasalah (Non Performing) menurut peraturan tersebut, jika sudah masuk kriterianya dalam kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet. Kredit digolongkan sebagai kualitas Kurang Lancar jika terdapat tunggakan pokok dan atau bunga kredit lebih dari tiga bulan sampai maksimal enam bulan. Jika kredit terdapat tunggakan pokok dan atau bunga lebih dari enam bulan sampai dengan dua belas bulan dan kredit belum jatuh tempo, kredit digolongkan dalam kualitas Diragukan. Selanjutnya jika kredit menunggak lebih dari dua belas bulan, maka kredit dapat digolongkan sebagai kualitas Macet. Terhadap kredit yang telah jatuh tempo, maka perpindahan kualitas kredit terjadi dengan menyesuaikan tanggal jatuh temponya. Kredit yang telah jatuh tempo dengan tunggakan pokok dan bunga berapapun, pada bulan pertama berpindah ke kualitas kurang lancar, jika sudah dua bulan jatuh tempo berpindah ke kualitas kurang lancar dan memasuki jatuh tempo tiga bulan pindah ke kualitas diragukan, selanjutnya pada bulan ke empat pindah ke kualitas macet. 

Mengacu pada Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/23/DPNP 31 Mei 2004 perihal Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, yang juga digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, Penilaian kesehatan faktor Kualitas Aktiva Produktif Bermasalah menggunakan indikator Rasio Non Performing Loans (NPL), (Triandanu, 2006:58).


Indikator Rasio Non Performing Loans (NPL) yang digunakan dalam mengukur kinerja pemberian kredit bank, memiliki  formula sebagai berikut :


Aktiva Produktif Bermasalah  =  Kredit Kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet
Aktiva Produktif                          =  Jumlah Kredit yang diberikan
Standar Sehat                               =  5%

Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/26/PBI/2011, Bank Perkreditan Rakyat  wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) berupa PPAP umum dan PPAP khusus. PPAP umum ditetapkan paling kurang sebesar 0,5% (lima permil) dari Aktiva Produktif  yang memiliki kualitas Lancar. PPAP khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling kurang sebesar:

1.   10% (sepuluh perseratus) dari Aktiva Produktif dengan kualitas Kurang Lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;
2.  50% (lima puluh perseratus) dari Aktiva Produktif dengan  kualitas Diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan
3.   100% (seratus perseratus) dari Aktiva Produktif dengan kualitas Macet setelah dikurangi dengan nilai agunan.

2.3. Rasio Rentabilitas Return On Asset (ROA)

Rentabilitas atau profitability adalah menunjukkan kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu. Rentabilitas suatu perusahaan diukur dengan kesuksesan perusahaan dan kemampuan menggunakan aktivanya secara produktif, dengan demikian rentabilitas suatu perusahaan dapat diketahui dengan memperbandingkan antara laba yang diperoleh dalam suatu periode dengan jumlah aktiva atau jumlah modal perusahaan tersebut (Munawir, 2012:33).

Rasio profitabilitas adalah perbandingan Laba (setelah pajak)  dengan Modal Inti atau Laba (sebelum pajak) dengan total Asset yang dimiliki bank pada periode tertentu. Agar hasil perhitungan rasio mendekati pada kondisi yang sebenarnya (real), maka posisi modal atau assets dihitung secara rata-rata selama periode tersebut.(Riyadi, 2006:155).

Laba bank yang besar akan menjamin adanya sumber modal yang stabil dan dengan demikian akan memudahkan di dalam menarik sumber dana dari luar. Menurut surat Edaran Bank Indonesia Nomor 30/12/KEP/DIR tertanggal 30 April 1997 tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat, penilaian terhadap faktor Rentabilitas dikaitkan dengan pengelolaan aktiva menggunakan rasio Return On Assets (ROA). Formula yang digunakan dalam perhitungan Return On Assets (ROA) sebagai berikut :
 Dengan mengetahui cara perhitungan dengan menggunakan rumus-rumus untuk menghitung rasio keuangan bank, maka dapat melakukan penilaian terhadap kinerja bank, apakah telah bekerja secara efisien dan bagaimana tingkat kesehatan bank yang bersangkutan, serta upaya-upaya apa yang harus dilakukan agar bank tersebut dapat bekerja lebih efisien dan lebih baik lagi.           
Memaksimumkan laba menunjukkan bahwa manajer bank harus menanamkan dananya di dalam aktiva yang menghasilkan pendapatan kotor yang tertinggi dan menjaga agar biaya bank menurun. Untuk  memperoleh pendapatan yang lebih tinggi, sebuah bank harus mengambil risiko tinggi atau menurunkan biaya operasi, (Soedarto, 2007:117).

III. Metode Penelitian

Dalam menyusun penelitian ini, penulis menggunakan metode pustaka, dan pengkajian data keuangan sekunder dengan menggunakan analisa trend terhadap kinerja keuangan Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional sesuai permasalahan yang bersumber dari Data Statistik Perbankan Indonesia yang dipublikasikan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan pada tahun 2011, 2012, 2013, 2014 dan berdasarkan pada peraturan-peraturan Bank Indonesia yang terkait dengan kebijakan operasional Bank Perkreditan Rakyat.

IV. Hasil dan Pembahasan

4.1.   Analisis Kinerja Pemberian Kredit

Berdasarkan penelitian, Bank Perkreditan Rakyat dalam melakukan penilaian terhadap kinerja pemberian kredit, menggunakan Indikator Rasio Non Performing Loans (NPL), dengan standar sehat maksimal 5%. Indikator kinerja kredit ini harus dipublikasikan dan disajikan dalam laporan keunagan tahunan Bank Perkreditan Rakyat. Hal ini sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia Nomor 15/29/DKBU tahun 2013 perihal Laporan Keuangan Tahunan dan Laporan Publikasi Bank Perkreditan Rakyat, disebutkan bahwa dalam rangka menciptakan transparansi atas laporan keuangan dan kinerja Bank Perkreditan Rakyat, maka Bank Perkreditan Rakyat wajib menyajikan informasi kinerja kuangan yang di antaranya adalah Rasio Keuangan Non Performing Loans dan Return On Assets (ROA). 

Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian (prudential banking principle), Bank Perkreditan Rakyat dalam melaksanakan aktivitas pemberian kredit wajib mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/26/PBI/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat. Peraturan tersebut mewajibkan manajemen Bank Perkreditan Rakyat menyusun Kebijakan Kredit dan Standar Operasional Prosedur yang berisi seluruh proses pemberian kredit mulai dari Permohonan Kredit, Proses Kredit, Pengawasan Kredit sampai dengan Penyelesaian Kredit Bermasalah.                

Indikator Rasio Non Performing Loans (NPL) merupakan rasio yang membandingkan antara jumlah kredit bermasalah yang memiliki kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet dengan Jumlah Kredit yang Diberikan. Kualitas aktiva produktif dalam bentuk pemberian kredit dibagi dalam empat golongan kualitas yaitu Lancar, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet.

Dalam prakteknya Bank Perkreditan Rakyat menerapkan ketentuan pembayaran kembali atas kredit yang diberikan dengan sistem angsuran bulanan. Suku bunga kredit dihitung secara  secara flate (pro rata) atau ada juga secara efektif (harian). Kualitas kredit setiap debitur bisa berubah-ubah setiap bulan tergantung kepada kepatuhan debitur dalam menyelesaikan kewajibannya. Kredit masih digolongkan sebagai kredit Lancar, jika tunggakan pokok dan atau bunga maksimum selama tiga bula. Atas tunggakan bunga dapar diakui sebagai pendapatan bunga secara accrual sekalipun belum dibayar. Kredit digolongkan sebagai kredit bermasalah (Non Peforming) pada saat tunggakan pokok dan atau bunga telah melampaui tiga bulan, dan tunggakan bunga yang telah diakui sebagai pendapatan selama tiga bulan dikoreksi dengan cara mendebet pendapatan bunga tersebut dan mengkredit bunga yang akan diterima. Jika tunggakan pokok dan atau bunga di atas tiga bulan sampai dengan enam bulan, kualitas kredit digolongkan sebagai Kurang Lancar. Berikutnya, Kredit digolongkan dalam kualitas Diragukan, jika  tunggakan pokok dan atau bunga lebih dari enam bulan sampai dengan dua belas bulan dan kredit belum jatuh tempo. Jika kredit menunggak sudah lebih dari dua belas bulan, maka kredit digolongkan sebagai kredit dengan kualitas Macet. Terhadap kredit yang telah jatuh tempo, maka perpindahan kualitas kredit terjadi dengan menyesuaikan tanggal jatuh temponya. Kredit yang telah jatuh tempo dengan tunggakan pokok dan bunga berapapun, pada bulan pertama berpindah ke kualitas kurang lancar, jika sudah dua bulan jatuh tempo berpindah ke kualitas kurang lancar dan memasuki jatuh tempo tiga bulan pindah ke kualitas diragukan, selanjutnya pada bulan ke empat pindah ke kualitas macet.

Peraturan Bank Indonesia tersebut, merupakan sebuah upaya yang dilakukan pihak regulator dan otoritas pengawas operasional Bank Perkreditan Rakyat yang saat ini dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dalam rangka menciptakan sistem pemberian kredit yang terkelola dengan sehat sehingga kredit bisa memberikan dampak positif baik kepada nasabah maupun kepada pertumbuhan industri Bank Perkreditan Rakyat. Selain itu, mengingat kredit merupakan aktiva produktif terbesar yang memiliki risiko dapat menimbulkan kerugian, maka regulasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan manajemen Bank Perkreditan Rakyat, diharapkan dapat mencegah terjadinya kredit macet sehingga pertumbuhan laba Bank Perkreditan Rakyat terus mengalami peningkatan. Untuk mengetahui perkembangan aktivitas pemberian kredit Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional, dan dampaknya terhadap kemampuan memperoleh laba, maka peneliti melakukan analisis trend terhadap data sekunder terkait penelitian dengan bersumber dari Data Statistik Perbankan Indonesia selam tahun 2011, 2012, 2013 dan 2014, yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.

Berdasarkan Data Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, rata-rata pertumbuhan Rasio Non Performing Loans (NPL) Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional selama tahun 2011, 2012, 2013 dan 2014 dapat disajikan sebagai berikut :




Berdasarkan pada Tabel 1 di atas, dapat dilakukan analisa terhadap data pertumbuhan rasio Non Performing Loans (NPL) Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional selama empat tahun. Jika melihat pada posisi setiap akhir bulan Desember atau saat tutup buku akhir tahun, posisinya mencerminkan kondisi yang tergolong sehat, kecuali pada tahun 2011 menembus angka 5,22%. Kemudian pada tahun 2012 mengalami penurunan menjadi 4,75% , tahun 2013 turun kembali menjadi 4,41% dan pada tahun 2014 kembali naik sama seperti tahun 2012 sebesar 4,75%, kondisinya masih tergolong sehat. Akan tetapi jika analisa Rasio Non Performing Loans (NPL) ini dilakukan dengan mendasarkan pada pertumbuhan setiap bulannya pada setiap tahun, maka ditemukan rata-rata rasio Non Performing Loans (NPL) pada tahun 2011 sebesar 6,15%, kemudian menurun pada tahun 2012 sebesar 5,38%, pada tahun 2013 kembali turun menjadi 5,05%, tetapi pada tahun 2014 kembali mengalami kenaikan menjadi sebesar 5,13%. Berdasarkan rata-rata Rasio Non Performing Loans (NPL) sejak tahun 2011 sampai dengan 2014, maka rasio tersebut sudah menembus batas standar sehat yaitu 5%. Artinya kondisi Rasio Non Performing Loans (NPL) Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional tergolong kurang sehat.

Untuk mengetahui lebih jauh sumber penyebab kondisi Rata-Rata Rasio Non Performing Loans (NPL) Bank Perkreditan Rakyat selama empat tahun dalam kondisi kurang sehat, maka diperlukan data pendukung analisa sebagai berikut  :



Berdasarkan penelitian pada Tabel 3 tersebut di atas, Bank Perkreditan Rakyat pada delapan  provinsi tersebut di atas, memiliki kontribusi terbesar dalam menciptakan rasio Non Performing Loans (NPL) yang  tinggi  secara Nasional. Kontribusi Non Performing Loans (NPL) pada delapan provinsi tersebut sejak tahun 2012 secara keseluruhan terus mengalami penurunan dari 80,52% pada tahun 2011 menjadi 76,78% pada tahun 2013, akan tetapi kembali meningkat menjadi 77,11% pada tahun 2014. Artinya, kunci permasalahan tidak stabilnya rasio Non Performing Loans (NPL) Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional selama empat tahun terakhir ini berada di area delapan provinsi di atas. Adanya penurunan kredit Non Performing Loans  (NPL) tersebut dinilai masih belum signifikan sebab faktanya Bank Perkreditan Rakyat di provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah kondisi jumlah Non Performing Loans (NPL) terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Bank Perkreditan Rakyat di provinsi Jawa Barat, pada tahun 2011 kredit Non Performing Loans (NPL) sebesar Rp. 455 Milyar, dan dalam waktu dua tahun pada akhir tahun 2014 meningkat sekitar 53,85% menjadi sebesar Rp. 700 Milyar. Selanjutnya, Bank Perkreditan di provinsi Jawa Tengah dengan jumlah Non Performing Loans (NPL) pada tahun 2011 sebesar   Rp. 675 Milyar, dalam dua tahun mengalami peningkatan sekitar 18,18% menjadi sebesar Rp. 825 Milyar. Berikutnya, Bank Perkreditan Rakyat di Jawa Timur, pada tahun 2011 jumlah Non Perfoming Loan (NPL) sebesar Rp. 194 Milyar, dua tahun kemudian pada tahun 2014 mengalami peningkatan sekitar 92,78% menjadi sebesar Rp. 374 Milyar. Berikutnya, Bank Perkreditan Rakyat di provinsi Bali pada tahun 2011, jumlah kredit Non Performing Loans (NPL) sebesar Rp. 95 Milyar, terus mengalami peningkatan dan pada tahun 2014 mencapai jumlah sebesar Rp. 168 Milyar atau meningkat sekitar  76,84%. Bank Perkreditan Rakyat di Sumatera Barat, setelah tiga tahun kredit Non Performing Loans (NPL) berada antara sebesar Rp. 66 Milyar sampai dengan sebesar Rp. 68 Milyar, pada tahun 2014 terjadi peningkatan sekitar 27,27% menjadi sebesar  Rp. 84 Milyar. Hal serupa dialami kepada Bank Perkreditan Rakyat di provinsi Riau, pada tahun 2011 jumlahnya masih di bawah Rp. 50 Milyar, tetapi pada akhir tahun 2014 meningkat sekitar 128,57% dengan jumlah mencapai Rp. 144 Milyar. Provinsi ke delapan adalah Bank Perkreditan Rakyat di provinsi Banten yang pada tahun 2011 memiliki kredit Non Performing Loans (NPL) sebesar Rp. 85 Milyar, dan dua tahun kemudian pada akhir tahun 2014 mengalami peningkatan sekitar 18,82% menjadi  sebesar Rp. 101 Milyar.

Berdasarkan analisa data pada Tabel 3 di atas, dapat disimpulkan bahwa ada empat Provinsi di mana Bank Perkreditan Rakyat beroperasi yang mengalami trend peningkatan Non Performing Loans (NPL) yang cukup signifikan selama dua tahun terakhir, yaitu di provinsi Riau mencapai 128,57%, di provinsi Jawa Timur mencapai 92,78%,  di provinsi Bali mencapai 76,84%, kemudian di provinsi Jawa Barat mencapai 53,85%. Dengan terdeteksinya empat provinsi yang paling banyak memberikan kontribusi terhadap kenaikan rasio Non Performing Loans (NPL) secara Nasional, maka pihak manajemen Bank Perkreditan Rakyat di provinsi tersebut harus lebih berupaya keras untuk menyelesaikan kredit bermasalah yang terdapat di bank masing-masing, sehingga diharapkan terjadi penurunan yang signifikan di pertengahan sampai dengan akhir tahun 2015 nanti, dan tentunya akan memberikan kontribusi positif terhadap kinerja perkreditan Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional.

4.2.   Dampak Risiko Non Performing Loans (NPL) Terhadap Pertumbuhan Kinerja Return On Assets (ROA)

Risiko dalam pemberian kredit terjadi jika kredit Bank Perkreditan Rakyat kualitasnya sudah bermasalah, yaitu tergolong kurang lancar, diragukan dan macet, sebab angsuran pokok dan bunga yang seharusnya diterima sesuai jadwal jadi tertunda bahkan bisa dalam waktu yang sangat lama dan tidak ada kepastian. Dampak dari terjadinya wanprestasi oleh pihak debitur yang kreditnya bermasalah akan menghambat cash in flow atau arus kas masuk bank.

Jika kondisi terhambatnya arus kas masuk dari penerimaan pokok dan bunga ini terus terjadi, dan jika manajemen tidak cepat mencarikan solusi penyelesaiannya, maka bank tersebut akan mengalami kesulitan likuiditas untuk memenuhi kebutuhan operasional sehari-hari, termasuk untuk memenuhi kewajiban kepada nasabah dan penyaluran kredit baru. Manajemen harus mencari sumber dana baru yang tidak tertutup kemungkinan berbiaya mahal, sehingga ada risiko bunga di mana biaya dana yang baru bertambah jumlahnya dan akan mengurangi laba.

Terhambatnya arus kas masuk akibat kredit bermasalah juga berdampak pada berkurangnya penerimaan pendapatan bank, berupa pendapatan bunga setiap bulan. Termasuk dalam hal ini, koreksi pendapatan bunga yang dicatat secara accrual selama tiga bulan wajib dikoreksi jika kredit berpindah dari kualitas lancar menjadi kurang lancar. Kondisi ini jelas mengurangi jumlah pendapatan bank, dan pastinya akan mempengaruhi kemampuan bank dalam memperoleh laba,

Tidak hanya itu, karena adanya risiko kesulitan likuiditas, maka Bank Perkreditan Rakyat juga tidak bisa melakukan ekspansi kredit baru yang potensial, sehingga peluang penerimaan pendapatan bank jadi hilang atau berkurang.

Risiko lainnya yang mengakibatkan berkurangnya laba bank adalah jika bank mengalami risiko hukum. Dalam pemberian kredit bisa terjadi ketika debitur wanprestasi dan bank tidak dapat melakukan tindakan hukum, karena analisa dan pengikatan kredit yang lemah. Apabila faktor hukum tidak diperhatikan dengan baik, dan ketika terjadi kredit masuk kualitas macet, maka Bank Perkreditan Rakyat bisa berada dalam posisi yang lemah sehingga risiko bisa menimbulkan kerugian yang membebani bank. Biaya yang dikeluarkan bank akibat penyelesaian kredit dengan menempuh jalur hukum, jumlahnya besar dan dapat menimbulkan beban yang dapat mengurangi kemampuan bank dalam memperoleh laba atau Return On Assets (ROA) yang optimal.

Dampak Risiko kredit bermasalah terhadap kemampuan memperoleh laba juga diakibatkan dari penerapan ketentuan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/26/PBI/2011 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat. Dalam peraturan tersebut setiap Bank Perkreditan Rakyat diwajibkan untuk membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) umum dan khusus. PPAP umum ditetapkan 0,5% dikalikan dengan baki debit dari jumlah kredit yang diberikan bank. Sedangkan PPAP khusus ditetapkan,  10% (sepuluh perseratus) dari Aktiva Produktif dengan kualitas Kurang Lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan,  50% (lima puluh perseratus) dari Aktiva Produktif dengan  kualitas Diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan, dan 100% (seratus perseratus) dari Aktiva Produktif dengan kualitas Macet setelah dikurangi dengan nilai agunan.

Jadi dengan semakin besarnya jumlah kredit bermasalah dengan kualitas diragukan dan macet, maka semakin besar jumlah penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP) yang wajib dibentuk oleh Bank Perkreditan Rakyat. Pembentukkan PPAP ini memiliki dampak langsung terhadap kemampuan Bank Perkreditan Rakyat dalam memperoleh laba setiap bulannya dan terakumulasi biayanya dalam satu tahun dengan jumlah yang cukup besar. Tujuan pembentukkan PPAP adalah untuk antisipasi jika kredit macet tidak memungkinkan bisa ditagih lagi, maka bank dapat melakukan penghapus bukuan karena sudah memiliki cadangan penghapusan yang mencukupi, sehingga diharapkan rasio Non Performing Loans (NPL) Bank Perkreditan rakyat bisa kembali sehat.

Untuk menganalisis dampak kredit bermasalah (Non Performing Loans) terhadap pertumbuhan Return On Assets (ROA) Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional, maka dapat dijelaskan pada tabel 4 sebagai berikut :


Pada tabel 4 tersebut di atas, dapat dianalisis terhadap trend pertumbuhan Bank Perkreditan Rakyat dalam memperoleh laba dengan indikator Return On Assets (ROA) selama empat tahun. Data tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2011 rata-rata Return On Assets (ROA) yang dapat diraih oleh Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional sebesar 3,74%. Sedangkan pada tahun 2012 sampai dengan 2014 terus mengalami penurunan, yaitu 3,70% pada tahun 2012, 3,69% pada tahun 2013 dan 3,23% pada tahun 2014. Jika didasarkan pada laporan publikasi per Desember, kondisi rasionya lebih rendah dari posisi Return On Assets (ROA) Rata-rata, yaitu pada tahun 2011 sebesar 3,32%, tahun 2012 sebesar 3,46 %,  tahun 2013 sebesar 3,44% dan tahun 2014 sebesar 2,98%.

Berdasarkan pertumbuhan Return On Assets (ROA) yang cenderung tidak ada kenaikan yang signifikan, penulis meneliti bahwa pada dasarnya kondisi tersebut memiliki keterkaitan dengan kondisi rasio Non Performing Loans (NPL) selama empat tahun terakhir, di mana rata-rata menembus angka 5% dan dalam kondisi kurang sehat. Hal ini tentunya menjadi kunci masalah yang harus ditangani manajemen Bank Perkreditan Rakyat jika ingin rasio Return On Assets (ROA) pada tahun 2015 mengalami pertumbuhan di atas 4%.

V. PENUTUP

Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan, msks dapat diambil kesimpulan sebagai berikut  :
1.     Bank Perkreditan Rakyat dalam melakukan penilaian terhadap kinerja pemberian kredit, menggunakan Indikator Rasio Non Performing Loans (NPL), dengan standar sehat maksimal 5%. Berdasarkan analisis trend rata-rata Rasio Non Performing Loans (NPL) Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional sejak tahun 2011 sampai dengan 2014, kondisi kredit bermasalah (Non Performing) sudah melampaui standar sehat yaitu 5%, yang artinya kinerja pemberian kredit Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional masih tergolong kurang sehat.
2.     Pertumbuhan kredit Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional kecenderungannya mengalami penurunan. Pada posisi Desember 2014 pertumbuhannya  paling rendah dibandingkan dengan tahun 2012 dan 2013. Kondisi ini menggambarkan bahwa selama dua tahun terakhir ini, Bank Perkreditan Rakyat mengalami penurunan dalam penyaluran kredit. Hal ini disebabkan karena tingkat persaingan pasar yang begitu ketat dengan lembaga keuangan sejenis, sehingga ceruk pasar kredit kian menyempit.
3.     Rasio Non Performing Loans (NPL) Bank Perkreditan secara Nasional yang rata-rata masih di atas 5%, memberikan dampak terhadap kurang bertumbuhnya perolehan Return On Asset (ROA) selama empat tahun terakhir ini. Hal ini dibuktikan dengan data laporan publikasi per Desember, posisi Return On Assets (ROA) pada tahun 2011 sebesar 3,32%, tahun 2012 sebesar 3,46 %, tahun 2013 turun sebesar 3,44% dan tahun 2014 turun kembali menjadi sebesar 2,98%.

Saran yang dapat diberikan adalah hendaknya Manajemen Bank Perkreditan Rakyat lebih meningkatkan ekspansi kredit dengan proses yang tetap berpedoman pada prinsip kehati-hatian, kemudian dilakukan monitoring yang ketat. Hal ini dimaksudkan agar kredit tetap lancar dan jika terjadi masalah dapat dideteksi dan dicari solusinya sejak awal, sehingga risiko kerugian dalam bentuk penambahan beban penyisihan penghapusan aktiva produktif dapat ditekan, sebab akan mengurangi kemampuan bank dalam memperoleh laba. Manajemen Bank Perkreditan Rakyat hendaknya juga memperhatikan kompetensi Sumber Daya Manusia yang terlibat dalam aktivitas kredit sehari-hari, sehingga memahami proses pemberian kredit yang benar dan akurat. Terhadap kredit yang tergolong kualitas macet, hendaknya manajemen terus mengupayakan mengeksekusi agunan, dan sebaiknya terhadap kredit yang sudah sulit ditagih segera dilakukan penghapus bukuan (write off), sehingga Rasio Non Performing Loan (NPL) selalu berada di bawah 5%. Selain itu hendaknya Otoritas Jasa Keuangan lebih memperketat lagi pengawasan dan pembinaan kepada Bank Perkreditan Rakyat di provinsi yang memiliki tingkat Non Performing Loan (NPL) tinggi.